Selasa, 21 Januari 2014
Formasi K2
Jumat, 17 Januari
2014 13:25
|
Jakarta--Humas BKN,
Permasalahan honorer K2 masih manjadi trending topic dalam audiensi BKN dengan beberapa anggota
DPRD negeri ini. Seperti yang terjadi pada Kamis (16/01), tak kurang
Empat DPRD menyambangi BKN menanyakan permasalahan yang sama, yakni Bangka
Selatan, Magetan, Karimun dan Dharmasraya. Perihal seputar pengumuman
kelulusan, pengangakatan dan formasi menjadi point dalam agenda kunjungan kerja mereka.
Dijelaskan Gunawan
selaku Kasubdit Penyiapan Data bahwa tertundanya
pengumuman kelulusan tes honorer K2 antara lain disebabkan oleh hal-hal nonteknis yang berasal dari peserta tes itu
sendiri, misalnya biodata yang tidak valid. Hal lainnya adalah passing grade. Menpan sampai saat ini masih mencari formula
yang tepat guna menentukan passing grade, agar formasi sebanyak 218
ribu yang tersedia dapat terisi. Angka 218 ribu merupakan prediksi dari kuota
30% secara nasional yang ditentukan Menpan terhadap keseluruhan honorer yang
berjumlah 640 ribu.
“Bagaimana dengan
honorer yang tidak lulus?” sambung DPRD Bangka Selatan. Dipaparkan Gunawan
untuk honorer yang tidak lulus dapat tetap bekerja, “ Silakan dipekerjakan
sebagai honorer tapi tidak berharap untuk
diangkat menjadi PNS, sesuai dengan regulasi PP 48 tahun 2005,” ujar Gunawan
dalam paparannya di Ruang Mawar BKN Pusat Jakarta. Ditegaskan bahwa
ujian K2 bukan merupakan formalitas, “meski passing grade tidak terlalu kaku, tapi tentu tidak
meluluskan semua K2.”
Berkaitan dengan
formasi, secara umum dijelaskan oleh Subdit Perencanaan Formasi Pegawai
Tri Priyo Sudarmanto bahwa saat ini Menpan sedang melakukan pengajuan ke
Kementerian Keuangan mengenai formasi yang bisa dialokasikan untuk K2.
Direncanakan tahap awal akan disediakan 100 ribu formasi. (din)
(Ade
Nuryan)
|
SKB 5 Menteri
SKB
LIMA MENTERI (SK LIMA MENTERI MENGHEBOKAN DUNIA PENDIDIKAN)
Surat Keputusan Bersama Lima Menteri (Menteri Pendidikan Nasional, Meneg
PAN dan Reformasi Birokrasi, Mendagri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama),
NOMOR 05/X/PB/2011, NOMOR SPB/03/M.PAN-RB/10/2011, NOMOR 48 Tahun 2011, NOMOR
158/PMK.01/2011, dan NOMOR 11 Tahun 2011, Tentang Penataan dan Pemerataan Guru
Pegawai Negeri Sipil, merupakan lonceng kematian bagi para Guru Tidak Tetap
(GTT), khususnya yang mengabdi di sekolah-sekolah negeri. Peraturan Bersama
Lima Menteri ini menegaskan (kembali) kewajiban guru PNS untuk mengajar di
depan kelas minimal 24 jam per minggu.
Latar belakang SK
Menurut Menteri
Kemendikbud, Mohammad Nuh, Kondisi guru di Indonesia ini sejatinya mencukupi.
Tapi gara-gara ada ketimpangan
distribusi, maka ada sekolah tertentu di daerah tertentu kekurangan guru.
Bahkan, ada mata pelajaran tertentu di sekolah tertentu, yang juga kekurangan
guru. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Pendidikan Musliar Kasim
menjelaskan, SKB lima menteri juga dibuat untuk menjawab keluhan dan
permasalahan terkait distribusi guru. Sebab, di beberapa daerah seringkali
ditemukan jumlah guru yang melebihi kebutuhan, sedangkan di daerah lainnya
justru kekurangan guru.
Roh atau semangat dari
dalam SKB itu adalah untuk menarik seluruh urusan tata kelola guru yang
ditangani oleh pemerintah kabupaten/kota menjadi wewenang propinsi dan pusat.
Dengan diterbitkan SKB tersebut diharapkan pengelolaan guru menjadi lebih baik
sehingga dunia pendidikan negeri ini akan mampu melahirkan generasi yang baik,
generasi yang beriman dan berakhlak shaleh.
Tujuan
SK
Menurut Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan bidang Pendidikan Musliar Kasim, SKB lima menteri
dirumuskan untuk peningkatan mutu pendidikan di seluruh Indonesia dengan
menarik kembali urusan guru dari kabupaten/kota ke provinsi dan pusat.Dengan
adanya SKB lima menteri, kami mempunyai otoritas untuk mendistribusikan guru.
Sesungguhnya, SKB ini
sangat positif karena memungkinkan mobilitas guru menjadi meningkat, khususnya
ketika ingin memenuhi syarat minimal 24 jam mengajar dalam seminggu untuk mendapatkan
tunjangan profesi.
Sebelumnya kewajiban
mengajar minimal 24 jam per minggu di depan kelas bagi guru PNS telah
dilaksanakan, namun dalam praktiknya banyak sekolah yang mengembangkan struktur
program kurikulum maksimal. Struktur program kurikulum maksimal ini selain
untuk meningkatkan mutu pembelajaran sekaligus untuk menambah jam pelajaran
sehingga kewajiban mengajar minimal 24 jam dapat terpenuhi. Berdasar Surat
Keputusan Bersama Lima Menteri ini, sekolah harus melakukan penghitungan beban
mengajar dengan struktur kurikulum minimal. Konsewkensinya sebagian guru PNS
tidak mampu memenuhi kewajiban mengajar 24 jam.
Efektivitas
Pelaksanaan SK
Menurut Menteri
Kemendikbud Mohmmad Nuh, untuk realisasi SKB lima Menteri ini ditentukan oleh
peran aktif dinas pendidikan di daerah dalam mengolah data guru.Kepala
Bidang Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) Sumut, Edward
Sinaga mengatakan ”Biarlah ada SKB lima menteri itu, asalkan tetap ada
perpanjangan tangan. Perpanjangan tangan itulah provinsi yang nantinya
menentukan dan menetapkan dimana guru-guru itu bertugas nantinya. Pemerintah
provinsi masih terus melakukan pendataan guru-guru di kabupaten/kota untuk
mengetahui jumlah guru di kab/kota untuk dilakukan penyesuaian.Diharapkan akhir
tahun ini sudah selesai pendataan, dan bisa diketahui daerah mana saja yang
over guru dan kekurangan guru nantinya untuk dilakukan penataan dan pemeretaan
sesuai kebutuhan.Pendataan tersebut akan dilaporkan ke pusat. Sehingga, pusat
yang akan menempatkan tugas para guru-guru itu.
“Jadi, kedepannya
tidak ada lagi wewenang kabupaten/kota untuk mengatur penempatan guru, sehingga
penempatan guru-guru khususnya PNS akan merata. Karena sesuai tugas dan
kewajibannya, guru PNS itu harus siap ditempatkan dimana saja”.
Subagyo Brotosejati,
ketua PGRI Jateng menegaskan, kalau SKB itu mau dilaksanakan dengan efektif dan
bermanfaat serta bermartabat, maka harus ada koordinasi dengan pejabat di
tingkat kabupaten / kota. ”Harus ada sinergitas yang komprehensif dengan
pejabat kabupaten / kota, agar persebaran, pemindahan dan atau mutasi guru
benar-benar berdasar kebutuhan, bukan mendasarkan pada like and
dislike. Khusus untuk Jawa
Tengah, persebaran itu harus benar-benar dipertimbangkan matang-matang, karena
2015 nanti kita menghadapi puncak ledakan guru yang pensiun.Seharusnya mulai
sekarang ini, Diknas kabupaten / kota harus mempunyai maping terkait kebutuhan guru di wilayahnya. Jangan
sampai di sebuah sekolah guru untuk mapel tertentu menumpuk, sementara di
sekolah lain, guru mapel itu tidak ada. Maping itu penting, agar
persebaran guru benar-benar tepat sasaran dan membawa manfaat”.
Kendala SK
SKB yang secara
prinsip memiliki semangat untuk meretribusi guru yang selama ini penataannya
belum berjalan rapi karena banyak daerah yang jumlah gurunya terlalu
“kegemukan” namun ada juga daerah yang kekurangan guru alias “krontang”.
Kendalanya adalah
otonomi daerah. UU nomer 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah juga menjadi
salah satu batu sandungan dari pelaksanaan SKB itu. Karena dengan otonomi itu,
setiap daerah merasa mempunyai hak untuk terus mengangkat dan mengangkat guru
baru dan menempatkannya di sekolah yang diingat tanpa melihat peta
persebarannya. Skala kebutuhan akan guru mapel tertentu, terkadang diabaikan,
karena Diknas setempat tidak mempunyai akurasi data terkait kebutuhan guru
disebuah sekolah. Selain itu, guru baru juga cenderung ingin ditempatkan di
sekolah favorit meski dengan beban jam mengajar yang sedikit. Semuanya itu
pastinya terkait dengan materi. Karena di sekolah favorit, kemungkinan untuk
mendapatkan bonus dan lainnya, lebih besar dibandingkan kalau misalnya guru
baru itu ditempatkan di sekolah pinggiran dengan beban mengajar yang padat tapi
minim bonus.
Bisakah SKB itu
mempercepat capaian tujuan pendidikan nasional ? Menurut
SubagyoBrotosejati ketua PGRI Jawa Tengah, hal itu masih ada tanda tanya besar
yang harus dijawab. Karena di lapangan, implementasi SKB itu akan berbenturan
dengan ego pejabat birokrat di kabupaten kota yang masih merasa punya hak untuk
memindahkan, memutasi dan atau sejenisnya tanpa perlu menjelaskan alasannya.
Otonomi daerah menjadikan pejabat birokrat sebagai raja-raja kecil dengan
kewenangan besar. Kewenangan wajib bidang pendidikan yang dipunyai daerah,
akan menjadi batu sandungan, kalau tidak direvisi. Itu tidak akan menjadi
masalah kalau pemda dilibatkan, dengan menyiapkan sebaran dan kebutuhan guru di
tiap wilayah secara kurat dan kredibel. Dan itulah yang harus ditata dulu,
kalau ingin SKB itu bisa berjalan dengan baik dan sukses serta bermanfaat.
Dampak SK
Lebih jauh dalam
Petunjuk Teknis Surat Keputusan Bersama (SKB) ini mengatur, bagi guru yang
tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar harus mencari sekolah lain, atau alih
tempat tugas, baik sesama jenjang, antar jenjang, bahkan antar kabupaten/kota.
Dampak lebih jauh, banyak Guru Tidak Tetap (GTT) yang mengabdi di sekolah
negeri terpaksa harus 'dilucuti' jam mengajarnya dan dialihkan kepada guru PNS.
Petunjuk teknis
(juknis) surat keputusan bersama (SKB) lima menteri mencantumkan bahwa untuk
mengatasi kekurangan jam tatap muka bagi guru maka diatur tiga hal, yakni
menentukan jumlah siswa per kelas, membuka kelas baru dengan cara menambah
ruang kelas, dan mengizinkan guru untuk mengajar di sekolah lain (sekolah
negeri).Menurut Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno
Listyarti,saat ini masih banyak sekolah yang tidak melaksanakan aturan berlaku.
Dalam juknis SKB, setiap kelas untuk jenjang SMA seharusnya diisi oleh 20-32
siswa. Pada kenyataannya, aturan itu tidak dijalankan oleh banyak sekolah.
Lihat saja, masih banyak sekolah yang menampung sampai 40 siswa untuk satu kelas. Itu memengaruhi kesempatan guru memenuhi jumlah mengajarnya.
Lihat saja, masih banyak sekolah yang menampung sampai 40 siswa untuk satu kelas. Itu memengaruhi kesempatan guru memenuhi jumlah mengajarnya.
Hambatan lainnya, kata
Retno, adalah kurangnya jumlah ruang kelas. Hal itu terjadi karena banyak
sekolah yang menampung siswa lebih dari jumlah yang ditentukan. Agar sesuai
aturan, pemerintah perlu menyiapkan dana yang cukup untuk menambah jumlah ruang
kelas.
SKB tersebut memperhitungkan jam mengajar dengan pembulatan ke bawah. Retno mencontohkan, dua jam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) dikali 18 rombongan belajar sama dengan 36 jam lalu dibagi 24 jam hasilnya 1,5 namun dibulatkan menjadi 1 jam. Artinya sekolah tersebut hanya membutuhkan satu guru yang wajib mengajar 36 jam dengan jumlah murid 720 orang.
Akibat rumus
pembulatan tersebut, ujarnya, banyak guru yang tidak memperoleh 24 jam di
tempatnya bertugas dan bahkan ada guru yang dianggap hanya mendapat nol jam
yang diberikan atas dasar senioritas dan bukan kompetensi atau prestasi.
Untuk mengejar 24 jam
maka guru pun diharuskan mengajar di dua atau empat sekolah lain yang jaraknya
jauh. Retno mencontohkan, untuk di Jakarta masih mending, namun di daerah mereka membutuhkan waktu dan biaya tinggi
untuk mengajar di sekolah lain,”. Selain itu, perlu dibukanya kesempatan
bagi seluruh guru agar bisa memenuhi waktu mengajarnya (minimal 24 jam) di
sekolah-sekolah swasta. Menurut Retno, langkah itu dapat dijadikan solusi
alternatif untuk mengatasi kesulitan guru memenuhi minimal waktu mengajar dan
menghilangkan kesan diskriminasi karena siswa di sekolah swasta memiliki
kesempatan diajar oleh guru yang kompeten.
Ketua Umum Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti di Jakarta menjelaskan, lebih
lanjut mengatakan, sebelum ada SKB itu beban mengajar mata pelajaran tertentu
dibagi merata kepada sejumlah guru yang ada di sekolah. Namun, setelah
keluarnya aturan itu, setiap guru wajib memiliki beban mengajar minimal 24 jam
pelajaran per minggu. Resiko dari aturan ini, beban jam pelajaran untuk
beberapa guru akhirnya disunat lalu diberikan kepada guru lainnya. Dari
pantauan kami, ada jam guru senior diberikan ke guru juniornya. Kami khawatir
bisa menimbulkan konflik sesama guru. Retno mengatakan, saat ini guru
yang telah memiliki beban mengajar 24 jam pelajaran per minggu, cemas dengan
keberadaan guru-guru yang beban jam mengajarnya belum genap. Meraka bisa sinis,
karena takut jam mengajarnya diambil guru lain. Di sisi lain, Retno mengatakan
guru yang belum genap beban jam mengajarnya, berlarian mencari sekolah negeri
lain untuk menggenapi aturan beban mengajar tadi.
Tenaga honorer pun
berpotensi dipecat dari sekolah negeri. Pasalnya, untuk mencapai target 24 jam
mengajar maka sekolah negeri memprioritaskan guru PNS untuk mencari tambahan
jam mengajar di sekolahnya. Namun guru honorer yang mengajar Bahasa Jepang,
Jerman dan Komputer masih aman karena tidak banyak guru PNS yang mempunyai
kemampuan itu. Namun guru honorer dibidang Kimia, Fisika dan Biologi akan
terancam dipecat.
Mendikbud Mohammad Nuh
mengharapkan agar para guru tetap fokus dalam mengajar di sekolah jangan
seperti tukang dagang yang keliling dari tempat satu ketempat yang lain
menjajakan daganganya. Jika hal ini yang terjadi maka konsentrasi guru untuk
mengajar terpecah karena harus disibukan dengan mencari sekolah lain agar bisa
memenuhi beban mengajar. Ia meminta kepada dinas pendidikan daerah agar
berperan aktif agar bisa membantu persoalan pemenuhan beban kerja ini.
SKB lima menteri
tentang guru yang diterbitkan untuk menata guru ternyata membuat guru
kocar-kacir alias ngibrit.
Sanksi Jika Tidak
Melaksanakan
Dalam SKB tersebut
memerintahkan kepada bupati atau wali kota untuk melaksanakan penataan dan
pemerataan guru di setiap jenjang pendidikan. Selambat-lambatnya Januari 2012
hal tersebut sudah rampung di kabupaten. Sebab pada Maret, gubernur harus sudah
menyampaikan usul tersebut ke lima kementerian terkait.
“Bagi bupati atau wali
kota yang tidak melaksanakan akan diberikan sangsi oleh kementerian terkait,
Bagi bupati atau wali kota yang tidak menjalankannya, Kementerian Dalam Negeri
akan mengurangi nilai kinerja bupati atau wali kota. Kementerian Keuangan akan
mengurangi bantuan dana perimbangan. Sedangkan Kementerian Penertiban Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi memberi sanksi berupa tidak akan memberikan
formasi PNS guru kepada daerah yang tidak melaksanakannya. Sementara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mengurangi bantuan dana ke sekolah.
SKB ini berisi
kesepakatan kerja sama dan bentuk dukungan dalam hal pemantauan, evaluasi, dan
kebijakan penataan serta pemerataan guru secara nasional. Akan tetapi, pada
pelaksanaannya dinilai banyak dampak negatif yang muncul. Di antaranya ancaman
mutasi secara besar-besaran dan tersingkirnya guru PNS yunior dan guru honorer
dari sekolah negeri.
Bagi guru PNS juga
terancam tidak mendapat tunjangan sertifikasi karena hanya diperbolehkan
menutupi kekurangan jam mengajarnya disekolah negeri saja. Padahal selama ini
banyak guru PNS yang mengajar di sekolah swasta miskin tanpa dibayar untuk
mengejar target 24 jam. “Bagi mereka lebih baik tidak mengejar 24 jam untuk
mendapatkan tunjangan karena biaya mengajar ke sekolah lain lebih tinggi
daripada nominal tunjangan yang didapat
Kesimpulan
Federasi Serikat Guru
Indonesia (FSGI) menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang
penataan dan pendistribusian guru menimbulkan banyak permasalahan. Sekretaris
Jenderal FSGI Retno Listyarti mengatakan, dalam implementasinya, SKB tersebut
menimbulkan kekacauan, ketidakharmonisan di antara guru dan banyak guru
kehilangan pekerjaan serta terancam dicabut tunjangan sertifikasinya
Jadi Dunia pendidikan
Kini cukup dihebohkan adanya SKB 5 Menteri mengenai pemerataan jam mengajar dan
efisiensi waktu guru dalam mengajar. Banyak guru yang Resah dengan kebijakan
ini. Karena tuntutan mengajar minimal 24 jam dalam seminggu. Beberapa hal yang
membuat guru galau:
1.
Kekurangan jam mengajar
Ketika SKB tersebut diberlakukan maka banyak
guru yang kekurangan jam mengajar untuk memenuhi target peraturan 24 jam
2. Terancamnya
tunjangan profesi
Kini sudah banyak guru yang menikmati
tunjangan sertifikasi dengan tuntutan minimal 24 jam. Ketika jam tersebut tidak
dipenuhi maka tunjangan tersebut akan dicabut.
3. Mengancam
guru dan Sekolah swasta
Guru swasta yang telah mengajar biasanya
posisinya akan terancam oleh guru negeri yang mencari jam di sekolah swasta.
Konflik yang terjadi adalah guru swasta jamnya digusur oleh guru negeri
tersebut.
Sekolah swasta yang mendapatkan sebagian besar
gurunya PNS terancam keberadaannya karena guru PNS kemungkinan besar ditarik ke
sekolah negeri demi mentaati SKB Lima menteri tersebut.
4. Tidak konsen
mengajar
Ketika terlalu berat tuntutan yang diberikan
maka peserta didik yang menjadi korban, karena guru juga memiliki tugas yang
lain selain mengajar. Misalnya analisis soal, bimbingan siswa dan tugas
administrasi yang lain.
5. Hilangnya
budaya ilmiah
Dengan banyaknya jam mengajar yang harus
dipenuhi akan menyebabkan hilangnya waktu bagi para guru untuk membaca dan menulis
(Oleh Rm Karolus Jande Pr, Ketua MNPK, Sumber :
dari berbagai berbagai sumber)
Publish Ade Nuryan
Langganan:
Postingan (Atom)